Suatu negara pasti menginginkan kedaulatan negaranya tetap terjaga. Maka untuk itu, perlulah suatu negara memiliki pertahanan yang baik yang didukung oleh alutsista yang handal. Hal tersebut juga tampaknya yang menjadi kebutuhan bagi Indonesia. Apalagi dengan wilayah kepulauan yang begitu luas, juga tuntutan era yang makin modern.
Indonesia pernah menjadi negara yang kekuatan militernya mampu "menggetarkan" belahan bumi Selatan. Berbagai alutsista yang dibeli dari Uni Soviet waktu itu dipersiapkan untuk menghadapi Belanda dalam Operasi Trikora, yaitu membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda. Namun, karena masalah politik (pasca G30S), pesawat-pesawat yang mampu menggetarkan belahan bumi Selatan itu harus dikandangkan. Hal tersebut juga disebabkan karena keterbatasan suku cadang.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan alutsista TNI, Indonesia kembali "berpaling" ke Blok Barat. Melalui proyek "Garuda Bangkit", Indonesia berhasil mendapat hibah pesawat tempur F-86 Avon Sabre dari Australia sebanyak 18 unit, lalu pesawat latih T-33A dari A.S sebanyak 16 unit. Namun, karena faktor usia pesawat tersebut tidak dapat beroperasi secara maksimal. Amerika Serikat bisa memberikan 16 pesawat F-5 E/F Tiger II, tetapi hal itu dianggap belum cukup. Apalagi saat itu Indonesia harus menghadapi operasi militer lanjutan di Timor Timur. Maka itu, didatangkanlah pesawat tipe serang, yaitu A-4 Skyhawk.
A-4 Skyhawk didatangkan secara rahasia, melalui Operasi Alpha. operasi rahasia antara TNI dan Militer Israel untuk membeli 32 pesawat tempur A-4 Skyhawk, melatih pilot Indonesia di Israel dan menyamarkan pesawat tempur itu agar bisa dibawa pulang.
Indonesia pernah menjadi negara yang kekuatan militernya mampu "menggetarkan" belahan bumi Selatan. Berbagai alutsista yang dibeli dari Uni Soviet waktu itu dipersiapkan untuk menghadapi Belanda dalam Operasi Trikora, yaitu membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda. Namun, karena masalah politik (pasca G30S), pesawat-pesawat yang mampu menggetarkan belahan bumi Selatan itu harus dikandangkan. Hal tersebut juga disebabkan karena keterbatasan suku cadang.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan alutsista TNI, Indonesia kembali "berpaling" ke Blok Barat. Melalui proyek "Garuda Bangkit", Indonesia berhasil mendapat hibah pesawat tempur F-86 Avon Sabre dari Australia sebanyak 18 unit, lalu pesawat latih T-33A dari A.S sebanyak 16 unit. Namun, karena faktor usia pesawat tersebut tidak dapat beroperasi secara maksimal. Amerika Serikat bisa memberikan 16 pesawat F-5 E/F Tiger II, tetapi hal itu dianggap belum cukup. Apalagi saat itu Indonesia harus menghadapi operasi militer lanjutan di Timor Timur. Maka itu, didatangkanlah pesawat tipe serang, yaitu A-4 Skyhawk.
A-4 Skyhawk didatangkan secara rahasia, melalui Operasi Alpha. operasi rahasia antara TNI dan Militer Israel untuk membeli 32 pesawat tempur A-4 Skyhawk, melatih pilot Indonesia di Israel dan menyamarkan pesawat tempur itu agar bisa dibawa pulang.
Pihak intelijen mendapat informasi, Israel akan menjual 32 pesawat A-4 Skyhawk. Masalahnya tentu tidak sesederhana itu. Selain tidak ada hubungan diplomatik, pembelian pesawat tempur ke Israel juga akan menuai protes keras dari masyarakat. Tapi pihak ABRI memutuskan operasi terus berlanjut.
Setelah mengirimkan teknisi, 10 Pilot TNI AU diberangkatkan ke Israel. Bahkan 10 pilot itu tidak tahu mereka akan diberangkatkan ke mana. Dalam buku autobiografinya, Menari di Angkasa, Djoko Poerwoko menceritakan pengalamannya.
“Awalnya hanya mengetahui bahwa para penerbang akan belajar terbang disana. Informasi lain-lain masih sangat kabur,” tulis Djoko.
10 Pilot tersebut berangkat dengan pesawat Garuda Indonesia dari Halim Perdana Kusuma ke Singapura. Setelah mendarat, di Singapura mereka dijemput oleh beberapa petugas intel ABRI. Mereka mulai sadar tidak akan diterbangkan ke AS, tetapi ke Israel. Sebuah negara yang sangat dibenci oleh masyarakat Indonesia.
Mayjen Benny Moerdani yang saat itu menjadi Kepala Badan Intelijen ABRI memberikan briefing. Ini misi rahasia. Jika misi gagal, pemerintah Indonesia tidak akan mengakui kewarganegaraan mereka. Benny juga memberikan pilihan jika ada yang ragu silakan kembali. Operasi ini dianggap berhasil jika pesawat tempur A-4 Skyhawk yang diberi kode ‘merpati’ sudah masuk ke Indonesia.
Berbagai pikiran berkecamuk di benak para pilot tersebut. Kaget dan bingung tentu saja. Tapi tidak ada yang mundur. Mereka pun diberi identitas palsu dan akhirnya siap diberangkatkan.
“Saat itu Benny Moerdani yang mengatur operasi Alpha. Tentu zamannya berbeda. Kalau dulu dengan kekuasaan tak terbatas yang dimiliki, ABRI bisa melakukan upaya semacam itu. Kalau sekarang tentu tidak bisa, karena menggunakan dana APBN, harus ada pertanggungjawabannya. Lagipula operasi semacam ini tentu melanggar prinsip keterbukaan. Belum lagi kerjasama dengan Israel, kalau dilakukan kini tentu Ormas-ormas Islam akan sangat keras menentang,” ujar pengamat militer Aris Santoso kepada detikcom, Rabu (10/8/2011).
Operasi Alpha digelar 31 tahun lalu. Misi khusus untuk membeli 32 pesawat tempur A-4 Skyhawk, melatih pilot TNI AU di Israel, dan membawa pulang pesawat ke Indonesia berlanjut. Dari Singapura, 10 Pilot TNI AU diterbangkan ke Frankfurt dengan menggunakan Boeing 747 Lufthansa. Mereka tidak boleh bertegur sapa, duduk saling terpisah, namun masih dalam batas jarak pandang.
Begitu mendarat di Bandara Frankfurt, Mereka berganti pesawat lagi untuk menuju Bandara Ben Gurion di Tel Aviv, Israel. Semuanya bingung dan jetlag. Begitu sampai di Tel Aviv, mereka ditangkap dan digiring petugas keamanan bandara. Semuanya hanya pasrah, oleh karena memang tidak tahu skenario apalagi yang harus dijalankan, yang ada hanya menunggu dengan hati berdebar.
Setelah memasuki ruang bawah tanah, dan melihat ada beberapa perwira intelijen ABRI, baru para pilot merasa tenang. Ternyata penangkapan hanya skenario saja agar mereka bisa keluar bandara dengan cepat tanpa diketahui.
Mereka langsung menerima brifing singkat mengenai berbagai hal yang harus diperhatikan selama berada di Israel. Segala sesuatu yang yang terkait dengan Indonesia di-sweeping. Para pilot ini juga diajari sedikit bahasa Ibrani. Mereka diperintahkan mengaku pilot dari Singapura.
Mereka dibawa ke Pangkalan Udara di Kota Eliat. Pangkalan itu rahasia. Tidak ada nama resminya. Atas kesepakatan, selama latihan Pangkalan Udara itu dinamai ‘Arizona’. Karena resminya memang para penerbang itu akan dikirim ke Arizona. Di sana mereka berlatih dengan pesawat A-4 Skyhawk. Melakukan berbagai manuver, mengoperasikan pesawat tempur sebagai mesin perang, hingga menembus hingga perbatasan Suriah.
Setelah sekitar 4 bulan, Latihan terbang berakhir tanggal 20 Mei 1980. Para perwira lulus dan berhak mendapatkan ijazah dan brevet penerbang tempur. Namun para perwira intelijen ABRI yang hadir justru membakarnya di depan para pilot itu. Tentu saja untuk menghilangkan bukti bahwa pernah ada kerjasama militer RI dan Israel.
Para penerbang itu kemudian dibawa ke Amerika Serikat. Sekedar untuk berfoto-foto. Di manapun ada tulisan AS mereka disuruh berfoto. Ini untuk mengecoh, seolah-olah bahwa mereka memang dikirim ke AS, bukan ke Israel. Kepada para komandan di kesatuan pun, para pilot ini harus mengaku telah dilatih di AS, bukan Israel.
Kemudian Tanggal 4 Mei 1980, paket A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat single seater dan dua double seater tiba di Tanjung Priok. Pesawat-pesawat tersebut diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel, dibalut memakai plastik pembungkus, berlabel F-5. Saat itu Indonesia juga memang memesan pesawat F-5 Tiger dari AS. Jadi seolah-olah pesawat yang diangkut kapal laut itu adalah juga pesawat F-5. Secara bergelombang, pesawat-pesawat A-4 Skyhawk terus berdatangan.
Setelah mengirimkan teknisi, 10 Pilot TNI AU diberangkatkan ke Israel. Bahkan 10 pilot itu tidak tahu mereka akan diberangkatkan ke mana. Dalam buku autobiografinya, Menari di Angkasa, Djoko Poerwoko menceritakan pengalamannya.
“Awalnya hanya mengetahui bahwa para penerbang akan belajar terbang disana. Informasi lain-lain masih sangat kabur,” tulis Djoko.
10 Pilot tersebut berangkat dengan pesawat Garuda Indonesia dari Halim Perdana Kusuma ke Singapura. Setelah mendarat, di Singapura mereka dijemput oleh beberapa petugas intel ABRI. Mereka mulai sadar tidak akan diterbangkan ke AS, tetapi ke Israel. Sebuah negara yang sangat dibenci oleh masyarakat Indonesia.
Mayjen Benny Moerdani yang saat itu menjadi Kepala Badan Intelijen ABRI memberikan briefing. Ini misi rahasia. Jika misi gagal, pemerintah Indonesia tidak akan mengakui kewarganegaraan mereka. Benny juga memberikan pilihan jika ada yang ragu silakan kembali. Operasi ini dianggap berhasil jika pesawat tempur A-4 Skyhawk yang diberi kode ‘merpati’ sudah masuk ke Indonesia.
Berbagai pikiran berkecamuk di benak para pilot tersebut. Kaget dan bingung tentu saja. Tapi tidak ada yang mundur. Mereka pun diberi identitas palsu dan akhirnya siap diberangkatkan.
“Saat itu Benny Moerdani yang mengatur operasi Alpha. Tentu zamannya berbeda. Kalau dulu dengan kekuasaan tak terbatas yang dimiliki, ABRI bisa melakukan upaya semacam itu. Kalau sekarang tentu tidak bisa, karena menggunakan dana APBN, harus ada pertanggungjawabannya. Lagipula operasi semacam ini tentu melanggar prinsip keterbukaan. Belum lagi kerjasama dengan Israel, kalau dilakukan kini tentu Ormas-ormas Islam akan sangat keras menentang,” ujar pengamat militer Aris Santoso kepada detikcom, Rabu (10/8/2011).
Operasi Alpha digelar 31 tahun lalu. Misi khusus untuk membeli 32 pesawat tempur A-4 Skyhawk, melatih pilot TNI AU di Israel, dan membawa pulang pesawat ke Indonesia berlanjut. Dari Singapura, 10 Pilot TNI AU diterbangkan ke Frankfurt dengan menggunakan Boeing 747 Lufthansa. Mereka tidak boleh bertegur sapa, duduk saling terpisah, namun masih dalam batas jarak pandang.
Begitu mendarat di Bandara Frankfurt, Mereka berganti pesawat lagi untuk menuju Bandara Ben Gurion di Tel Aviv, Israel. Semuanya bingung dan jetlag. Begitu sampai di Tel Aviv, mereka ditangkap dan digiring petugas keamanan bandara. Semuanya hanya pasrah, oleh karena memang tidak tahu skenario apalagi yang harus dijalankan, yang ada hanya menunggu dengan hati berdebar.
Setelah memasuki ruang bawah tanah, dan melihat ada beberapa perwira intelijen ABRI, baru para pilot merasa tenang. Ternyata penangkapan hanya skenario saja agar mereka bisa keluar bandara dengan cepat tanpa diketahui.
Mereka langsung menerima brifing singkat mengenai berbagai hal yang harus diperhatikan selama berada di Israel. Segala sesuatu yang yang terkait dengan Indonesia di-sweeping. Para pilot ini juga diajari sedikit bahasa Ibrani. Mereka diperintahkan mengaku pilot dari Singapura.
Mereka dibawa ke Pangkalan Udara di Kota Eliat. Pangkalan itu rahasia. Tidak ada nama resminya. Atas kesepakatan, selama latihan Pangkalan Udara itu dinamai ‘Arizona’. Karena resminya memang para penerbang itu akan dikirim ke Arizona. Di sana mereka berlatih dengan pesawat A-4 Skyhawk. Melakukan berbagai manuver, mengoperasikan pesawat tempur sebagai mesin perang, hingga menembus hingga perbatasan Suriah.
Setelah sekitar 4 bulan, Latihan terbang berakhir tanggal 20 Mei 1980. Para perwira lulus dan berhak mendapatkan ijazah dan brevet penerbang tempur. Namun para perwira intelijen ABRI yang hadir justru membakarnya di depan para pilot itu. Tentu saja untuk menghilangkan bukti bahwa pernah ada kerjasama militer RI dan Israel.
Para penerbang itu kemudian dibawa ke Amerika Serikat. Sekedar untuk berfoto-foto. Di manapun ada tulisan AS mereka disuruh berfoto. Ini untuk mengecoh, seolah-olah bahwa mereka memang dikirim ke AS, bukan ke Israel. Kepada para komandan di kesatuan pun, para pilot ini harus mengaku telah dilatih di AS, bukan Israel.
Kemudian Tanggal 4 Mei 1980, paket A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat single seater dan dua double seater tiba di Tanjung Priok. Pesawat-pesawat tersebut diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel, dibalut memakai plastik pembungkus, berlabel F-5. Saat itu Indonesia juga memang memesan pesawat F-5 Tiger dari AS. Jadi seolah-olah pesawat yang diangkut kapal laut itu adalah juga pesawat F-5. Secara bergelombang, pesawat-pesawat A-4 Skyhawk terus berdatangan.
Sesampainya di Indonesia, A-4 Skyhawk tersebut ditempatkan di Skadron 11 dan 12.
Semula Indonesia berencana mengoperasikan Skyhawk selama 10 tahun saja. Namun berkat upgrade oleh ahli dari Israel, keandalan di medan tempur, juga perawatannya yang cukup sederhana, mampu membuat pesawat ini bertahan selama 24 tahun.
Semula Indonesia berencana mengoperasikan Skyhawk selama 10 tahun saja. Namun berkat upgrade oleh ahli dari Israel, keandalan di medan tempur, juga perawatannya yang cukup sederhana, mampu membuat pesawat ini bertahan selama 24 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar